Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. | |||||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi :
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Yang mana yang baik/ tepat ? 1. Menurut keyakinan anda masing-masing. 2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana. 3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal. Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti) |
|||||||||||||||||||||||||||||||||
1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 : a. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil) b. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan) c. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama), 2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan (SP) :
Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya. Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
PURA DADIA BANDESA MANIK MAS
Banjar Pangkung Buluh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali
PURA DADIA BANDESA MANIK MAS
Kamis, 12 September 2019
Sanggah Pamerajan / Pura Dadia
Rabu, 13 Maret 2019
Rencana Pembangunan Pura Dadia
Rencana Pembangunan Tembok Penyengker Jabe Tengah dan Jabe Luar
Kamis, 29 November 2012
Selasa, 27 November 2012
SEJARAH SINGKAT PURA DADIA BANDESA MANIK MAS
"Om Swastyastu"
Pura Dadia Bandesa Manik Mas yang beralamat di Banjar Pangkung Buluh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, merupakan Merajan Dadia. Pemasangan (naceb turus lumbung) merajan dadia pada tahun 1987, dari tahun 1987 s/d 2000 merupakan proses pembangunan serta pembuatan pelinggih-pelinggih di merajan Dadia, terdapat sebelas pelinggih dan satu pepelik, bale gong, bale banten, pagar alas serta kori agung. Pembangunan merajan Dadia bertahap dilakukan dari tahun ke tahun karena terbatasnya biaya dan anggaran kas yang di miliki Dadia serta sedikitnya anggota dadia yaitu sebanyak 21 KK (Janda 4 KK). Resmi Pemelaspasan merajan dadia (nanem sesimpen) dilaksanakan yaitu pada tahun 2001, kurang lebih sudah dua tahun lamanya semenjak pemelaspasan pemerajan dadia, tetapi kalau kita bandingkan dengan pemerajan dadia-dadia yang lain, usia dari merajan Dadia Bandesa Manik Mas kami masih baru.
Patut disukuri bawasannya Pelinggih di merajan Dadia
Bandesa Manik Mas kami sudah komplite yaitu ada sebelas pelinggih dan satu
pepelik, yang belum ada dan merupakan program panitia pembangunan adalah Bale Petandingan, dapur suci, kamar mandi dan pagar alas jabe tengah. Letak Piodalan ring Pemerajan Dadia
Bendesa Manik Mas yakni ring umanis anggarkasih prangbakat. Dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 21 KK, sangat minim dan
kesulitan dalam pengumpulan dana karena sebagian besar anggota dadia kami
ekonominya menengah kebawah.Pura Dadia Bandesa Manik Mas yang beralamat di Banjar Pangkung Buluh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, merupakan Merajan Dadia. Pemasangan (naceb turus lumbung) merajan dadia pada tahun 1987, dari tahun 1987 s/d 2000 merupakan proses pembangunan serta pembuatan pelinggih-pelinggih di merajan Dadia, terdapat sebelas pelinggih dan satu pepelik, bale gong, bale banten, pagar alas serta kori agung. Pembangunan merajan Dadia bertahap dilakukan dari tahun ke tahun karena terbatasnya biaya dan anggaran kas yang di miliki Dadia serta sedikitnya anggota dadia yaitu sebanyak 21 KK (Janda 4 KK). Resmi Pemelaspasan merajan dadia (nanem sesimpen) dilaksanakan yaitu pada tahun 2001, kurang lebih sudah dua tahun lamanya semenjak pemelaspasan pemerajan dadia, tetapi kalau kita bandingkan dengan pemerajan dadia-dadia yang lain, usia dari merajan Dadia Bandesa Manik Mas kami masih baru.
Program kedepan dari pengurus merajan Dadia
Bandesa Manik Mas adalah pembuatan Bale Petandingan / Bale pembuatan Banten, dapur suci, pagar alas jabe tengah serta kamar mandi di jaba luar merajan (RAB terlampir) yang
merupakan bangunan yang sangat penting guna manunjang dalam kegiatan upakara/yadnya
Piodalan. Diperkirakan menghabiskan dana lumayan besar, maka dari itu kami atas
nama pengurus serta anggota merajan Dadia mohon bantuan (Dana Punia) untuk meringankan
pembangunan yang dimaksud. Bagi yang berminat melakukan sumbangan atau "Dana Punia" silahkan
melalui Rekening Bank BPD Bali NO: 016.02.02.82184-6 A.N. DADIA
BANDESA MANIK MAS, HP Ketua Dadia 08123917637, HP
Bendahara 08123888415.
Berapapun sumbangan anda sangat kami hargai, semoga Ida Betara Kawitan Bandesa Manik Mas mepaica rejeki dan kesuksesan bagi kita semuanya. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
"Om Shanti, Shanti, Shanti Om"
Berapapun sumbangan anda sangat kami hargai, semoga Ida Betara Kawitan Bandesa Manik Mas mepaica rejeki dan kesuksesan bagi kita semuanya. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
"Om Shanti, Shanti, Shanti Om"
Selasa, 10 April 2012
ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.
Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgelc.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:ØPura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi WasaKetiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :
Pura Purancak,
Pura Rambut siwi,
Pura Pakendungan,
Pura Hulu watu,
Pura Bukit Gong,
Pura Bukit Payung,
Pura Sakenan,
Pura Air Jeruk,
Pura Tugu,
Pura Tengkulak,
Pura Gowa Lawah,
Pura Ponjok Batu,
Pura Suranadi (Lombok),
Pura Pangajengan,
Pura Masceti,
Pura Peti Tenget,
PuraAmertasari,
Pura Melanting,
Pura Pulaki,
Pura Bukcabe,
Pura Dalem Gandamayu,
Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Babad Bendesa Mas secara Ringkas
PANCA PANDITA
Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan Mpu Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja Airlangga di Kediri. Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina pulau Bali atas perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke Bali adalah:
1. Mpu Semeru menetap di Besakih.
2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.
3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.
Yang tinggal di Jawa adalah:
1. Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan
2. Mpu Genijaya.
Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan Mpu Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja Airlangga di Kediri. Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina pulau Bali atas perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke Bali adalah:
1. Mpu Semeru menetap di Besakih.
2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.
3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.
Yang tinggal di Jawa adalah:
1. Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan
2. Mpu Genijaya.
MPU GENI JAYA (1157)
Mpu Geni jaya mempunyai 7 putera (Sapta Pandita) yang tinggal di Kuntuliku, Jawa Timur. Dalam tahun 1157 Mpu Geni jaya pergi ke Bali untuk mengunjungi adik-adiknya lalu menetap di gunung Lempuyang.
Gajah Waktra (1337 – 1343) Raja Bali, Gajah Waktra beserta pepatihnya Kebo Iwa dan Pasung Gerigis memerintah Bali selama 1337 – 1343. Kemudian Bali di serang dan di taklukan oleh patih Gajah Mada dari Mojopahit. Selesai perang, Mpu Jiwaksara yaitu generasi ke-6 dari Mpu Geni jaya diangkat menjadi puncuk pimpinan pemerintahan Mojopahit di Bali dengan gelar Patih Wulung. Ayahnya Mpu Wijaksana juga ikut ke Bali dan merupakan pendeta pertama dari Mojopahit yang mengatur tata keagamaan di Bali setelah Bali jatuh ke tangan Mojopahit.
PATIH WULUNG (1350)
Pada tahun 1350 Patih Wulung berangkat ke Mojopahit untuk memberi laporan kepada ratu Mojopahit Tri Buana Tunggal Dewi tentang keadaan di Bali dan sekaligus mohon supaya cepat di angkat seorang raja di Bali sebagai wakil pemerintahan Mojopahit.
Akhirnya diangkatlah salah satu putra dari Danghyang Kepakisan, yaitu Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali, berkedudukan di Samplangan kemudian di Gelgel.
Berselang beberapa tahun, Sri Kresna Kepakisan ingin mempersatukan Blambangan dan Pasuruan yang dikuasai sang kakak, yaitu Dalem Wayan dan Dalem Made dengan kerajaan Bali. Penyerangan dilakukan ke Pasuruan dibawah pimpinan Patih Wulung. Sri Kresna Kepakisan berpesan agar sang kakak jangan sampai di bunuh. Namun dalam perang tanding antara Patih Wulung dan Dalem Pasuruan, yang terakhir ini terkena senjata Patih Wulung lalu gugur.
Setelah patih Wulung dengan pasukannya kembali ke Bali dan melaporkan jalannya peperangan yang berakhir dengan gugurnya Dalem Pasuruan, Sri Kresna Kepakisan menjadi sangat marah lantaran Patih Wulung telah melanggar pesannya sebagai tersebut di atas. Patih Wulung diusir dari gelgel setelah dibekali beberapa sikut tanah dan beberapa ratus prajurit. Di samping itu juga diberi gelar Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas. Patih Wulung pindah ke Bali Tengah yang kemudian disebut Bumi Mas kira-kira dalam tahun 1358.
Ki Patih Wulung atau Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas mempunyai 2 putra, yaitu:
Putra pertama adalah Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (II) yang menetap di Desa Mas dan menurunkan:
a. Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (III),
b. Gusti Luh Made Manik Mas,
c. Gusti Luh Nyoman Manik Mas Genitri, yang kemudian diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Nama Bendesa Mas tetap tercantum sebagai pengenal garis keturunan. Dari sinilah menurun para Bendesa Mas yang tersebar di seluruh Bali antara lain di Gading Wani.
Putra kedua dari Patih Wulung adalah Kiyai Gusti Pangeran Semaranata, menetap di Gelgel dan menurunkan Gusti Rare Angon, leluhur dari Kiyai Agung Pasek Gelgel. Istilah Pasek berasal dari istilah kata pacek yang berarti pejabat. Semua pegawai kerajaan dari Perdana Menteri, Panglima Perang, Prajurit dan pegawai lainnya adalah pejabat.
DANGHYANG NIRARTHA (1489)
Di zaman Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) datanglah ke Bali Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh dalam tahun 1489 lalu diangkat menjadi Bagawantha kerajaan.
Danghyang Nirartha adalah putra dari Danghyang Semara Natha yang bersama-sama pindah dari Mojopahit ke Daha, karena Mojopahit telah jatuh ke tangan Islam dalam tahun 1474. Islam kemudian juga merambat ke Kediri dan oleh karena itu Danghyang Nirartha pergi bersama kedua putra putrinya yang masih kecil, yaitu Ida Suwabawa (wanita) dan Ida Kulwan (laki) ke Pasuruan.
Di sini beliau menikah lagi dengan seorang putri Pasuruan yang melahirkan: 1. Ida Lor atau Ida Manuaba dan 2. Ida Wetan.
Dari Pasuruan Danghyang Nirartha pindah lagi ke Belambangan di mana beliau menikah dengan adiknya Dalem Blambangan yang bernama Patni Keniten Saraswati dan melahirkan: 1. Ida Selaga atau Ender, 2. Ida Keniten, 3. Ida Nyoman Stri Rai (wanita).
Timbul keributan di istana Blambangan lantaran istrinya dalem jatuh cinta pada Mpu Nirartha dan Dalem menuduh Nirartha mengguna-gunai sang permaisuri. Akhirnya Nirartha diusir dari Blambangan. Disertai ketujuh putra putrinya dan sang istri Patni Keniten Saraswati, beliau menyeberang ke Bali dan turun di pelabuhan Purancak.
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur dan suatu ketika rombongan sampai di Desa Gading Wani, yang penduduknya kebetulan ditimpa penyakit sampar. Kedatangan Danghyang Nirartha disambut oleh Ki Bendesa Gading Wani dengan ramah dan memohon kepada beliau agar sudi menolong mengobati mereka yang sedang sakit. Berkat kesaktian Danghyang Nirartha berhasil menyembuhkan rakyat Gading Wani dan sejak itu beliau disebut pula Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sebagai tanda bakti Ki Bendesa Gading Wani mempersembahkan kepada beliau seorang putrinya bernama Ni Luh Petapan untuk di jadikan pelayan.
Nama Danghyang Nirartha makin terkenal di Bali dan oleh karena itu Ki Pangeran Bendesa Manik Mas mengundang beliau untuk datang ke Bumi Mas, lebih-lebih setelah diketahui, bahwa mereka masih saudara sepupu. Di Bumi Mas, Danghyang Nirartha dibuatkan oleh Ki Pangeran Bendesa Manik Mas sebuah pasraman dan sebuah permandian.
Setelah cukup lama tinggal di Mas, Kiyai Pangeran Bendesa Manik Mas mempersembahkan putrinya Gusti Nyoman Manik Mas Genitri kepada Danghyang Nirartha untuk di jadikan istri. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ida Bokcabe. Ni Berit putri yang dibawa dari Melanting-Pulaki dan Luh Petapan putri dari Ki Bendesa Gading Wani akhirnya dikawini pula dan dari yang pertama lahir Ida Andapan sedangkan dari yang kedua lahir Ida Petapan.
BUMI MAS DISERANG SUKAWATI (1750)
Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena Pangeran Bendesa Manik Mas tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem Sukawati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Mojopahit yang dahulu diberikan oleh Ratu Mojopahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai penguasa Bali Aga Mojopahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata yang sangat dimuliakan bernama Menawa Ratna.
Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di keluarkan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih Wulung, sewaktu patih ini diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain di muat: “Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajan”.
Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi Mas diserang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran Bendesa Mas dan keluarganya menghilang dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana Mas. Keluarga Bendesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok pulau Bali, juga ke Gading Wani.
PENUTUP
Berdasarkan babad tersebut di atas, maka Pura Kawitan para Bendesa Mas adalah Pura Lempuyang Madia, bekas parhyangan Mpu Genijaya. Di samping itu pula nyungsung ke Pura Gading Wani (Lalanglinggah) dan Pura Taman Pule (Mas). Juga Pura Çilayukti (Padang) dan Pura Dasar Bhuwana (Gelgel) tidak boleh dilupakan. Waktu di pura Besakih dibangun sebuah pelinggih untuk memuja arwah suci Danghyang Nirartha, di sebelah timurnya didirikan pula pelinggih untuk Bendesa Mas. Namun demikian lelintihan/asal-usul dan hukum kepurusa, para Bendesa Mas patut nyungsung pula pura pedharman di komplek pura Besakih, yaitu Pura Ratu Pasek.
Selasa, 27 Maret 2012
Tersebutlah seorang keturunan Brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari dang Hyang Asmaranatha. Ketika
Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha,
putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di geria
Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang Hyang Nirartha.
Dari
perkawinan ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua orang putra-putri,
yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga
(yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh atau barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.
PASURUAN
Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuran-pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya (sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya.
Yang berbeda adalah cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.
Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan. Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita ang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar menyingsing.
BRAMBANGAN (BANYUWANGI)
Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara
Beliau itu turunan raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin air).
MPULAKI / DALEM MELANTING
setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang Nirartha harum sebagai minyak mawar.Pura Pulaki
Tiap-tiap orang turut berdekatan dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten. Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek.
Sang pendeta sendiri waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu apa. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait 18 dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya.
Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya. Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar.
Di tengan perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali) yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’ seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan. San pendeta berkata kepada kera itu :
Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas. Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing membawa dirinya sendiri.
Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak 20 jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan lagi. “Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak kita?” “Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri.
Hamba tidak dapat mengejar mereka karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau. Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya. Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama putra-putrinya itu.
Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan. Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu. “Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang Hyang Nirartha. “Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa. “Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,– sebentar merah, sebentar hitam.
Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri, penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi menjadi manusia....”
Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “jangan khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.” Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi (Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di sana.
Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi nama Ni Berit.
Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta. “Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.” Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia biasa.
Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang. Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang. Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan penghuninya sekalian.
GADING WANI
Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk bersila menyembah. “Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak. Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya.
Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya. Dang Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.
Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya. Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam.
Orang desa banyak yang turun menyaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).
Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orangorang desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani.
Setelah itu diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen bersama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra menerimanya.
PASURUAN
Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuran-pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya (sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya.
Yang berbeda adalah cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.
Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan. Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita ang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar menyingsing.
BRAMBANGAN (BANYUWANGI)
Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara
Beliau itu turunan raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin air).
MPULAKI / DALEM MELANTING
setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang Nirartha harum sebagai minyak mawar.Pura Pulaki
Tiap-tiap orang turut berdekatan dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten. Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek.
Sang pendeta sendiri waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu apa. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait 18 dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya.
Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya. Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar.
Di tengan perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali) yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’ seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan. San pendeta berkata kepada kera itu :
- “Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”,
Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas. Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing membawa dirinya sendiri.
Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak 20 jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan lagi. “Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak kita?” “Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri.
Hamba tidak dapat mengejar mereka karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau. Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya. Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama putra-putrinya itu.
Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan. Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu. “Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang Hyang Nirartha. “Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa. “Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,– sebentar merah, sebentar hitam.
Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri, penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi menjadi manusia....”
Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “jangan khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.” Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi (Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di sana.
Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi nama Ni Berit.
Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta. “Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.” Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia biasa.
Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang. Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang. Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan penghuninya sekalian.
GADING WANI
Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk bersila menyembah. “Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak. Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya.
Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya. Dang Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.
Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya. Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam.
Orang desa banyak yang turun menyaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).
Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orangorang desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani.
Setelah itu diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen bersama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra menerimanya.
SEJARAH PURA PERANCAK
Perancak
adalah salah
satu nama daerah di kabupaten
Jembrana dan desa ini memiliki sejarah yang kental dengan salah satu tokoh
dalam sejarah Bali, Dang Hyang Nirarta atau
Pedanda Wau rauh.
Menurut sejarah desa
Perancak diresmikan secara administratif pada tahun 1915, sebelumnya desa
ini bernama Tanjung Ketapang.
Berdasarkan sejarah, desa Perancak merupakan salah satu desa tua di Bali dan timbulnya nama desa Perancak berkaitan dengan
runtuhnya kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Pada saat itu penduduk Tanjung
Ketapang sangat sedikit dan jarang karena sebagian besar penduduknya merupakan
pendatang dan mayoritas beragama Hindu yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah. Ia adalah seorang pemimpin
agama yang berpendirian sangat angkuh dan yang mengagungkan dirinya sendiri
sebagai dewa yang harus disembah oleh penduduk atau siapapun yang datang atau
tinggal di Tanjung Ketapang. Pemimpin ini menempati sebuah Puri atau oleh
penduduk disebut sebagai Pura. Setiap saat atau pada hari-hari tertentu bagi
penduduk atau siapapun yang datang diwajibkan harus tunduk dan taat pada
perintahnya termasuk kepada para pelaut-pelaut Sulawesi
dari suku Bajau. Semakin lama I Gusti Ngurah semakin ketat dan keras membuat
peraturan dan ketentuan yang harus ditaati, sehingga pada akhirnya mereka
meninggalkan tempat tersebut. (Sebagai bukti adanya suku Bajau pernah bertempat
tinggal di desa ini serta memberi suri teladan kepada penduduk yaitu hidup
melaut / sebagai nelayan, dan sebuah sumur yang sekarang terletak di Tanjung
Tangis, serta sebuah kuburan kecil yang berseberangan kali dengan sumur
tersebut).
Kemudian datanglah seorang
Pendeta Suci dari kerajaan Majapahit (pulau Jawa), yang bernama Danghyang Dwi Jendra atau dikenal
dengan nama Dang Hyang Nirartha. Beliau melakukan perjalanan panjang (Metirta
Yatra) yang berjalan menyusuri pantai dari ujung barat pulau Bali
dan sampai di desa Tanjung Ketapang. Sebagai seorang Pendeta / Guru Besar Agama
Hindu, beliau sangat disegani dan dihormati oleh penduduk, tetapi oleh I Gusti
Ngurah sebagai pemimpin desa dianggap sama, sehingga Dang Hyang Nirartha
diharuskan tunduk dan taat terhadap perintahnya.
Pada suatu hari Dang Hyang
Nirartha bersama penduduk lainnya datang ke pura tempat tinggal I Gusti Ngurah
untuk menyembah ngaturang bakti kepada I Gusti Ngurah. Pada saat Dang Hyang
Nirartha hendak menyembah I Gusti Ngurah, belum sempat sampai ke kening cakupan
tangan atau hanya baru sampai pada hulu hati beliau. Tiba-tiba batu yang ada di
pura, tempat duduk I Gusti Ngurah saat disembah pecah menjadi dua. I Gusti
Ngurah menjadi cemas dan takut, bahwa ternyata Dang Hyang Nirartha adalah
seorang yang Sakti dan merasa kalah kesaktiannya sehingga I Gusti Ngurah
melarikan diri ke daerah Sawe Rangsasa. Pada saat itulah penduduk memberi
julukan Pandita atau Pedanda Sakti Wau Rauh dan pura tempat kejadian tersebut
diberi nama Pura Encak.
Jadi kata Perancak
sepertinya berasal dari kata Pura dan
Encak.
Dikutip dan diedit dari : http://wisatadewata.com/article/wisata/desa-perancak
PURA RAMBUT SIWISetelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan perjalanan bertirthayatra itu.
Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang biasanya pura itu dijaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci itu.
Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali. Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka. Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang merupakan rencangan parahyangan ini.
Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat persembahyangan itu.
Selanjutnya beliau memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan.
Para penduduk sangat sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau berada di sana.mereka memohon dengan sangat agar sang Mpu bersedia tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya. Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS PRANGBAKAT.
Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk memohon berkah. Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar masyarakat menjadi selamat dan tentram.
PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT) Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana. Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang, maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya kepada sang pendeta.
Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan alam yang dilaluinya dan dilihatnya. Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci suasananya. Lalu beliau berhenti di sana.Kemudian dilihat oleh orang-orang penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang pendeta masing-masing membawa persembahannya. Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu. Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.
Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.
PURA GOWA LAWAH Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya. Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana. Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di sana, beliau lalu kembali ke Gelgel.
Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedatangan sang pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan (kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).
PURA PONJOK BATU Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian. Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya tiba di pantai barat laut dari gunung Agung. Di sana ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/ batu gunung yang ditutupi lumut menghijau.
Sang pendeta berhenti di sana dan duduk untuk melihat pemandangan laut. Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana. Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang membiru.
Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.
TUAN SEMERU PURA SURANADI Gerbang Pura Suranadi
Setibanya di Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan agama Islam waktu tiga kepada orang-orang sasak, sehingga beliau diberi gelar TUAN SEMERU. Sebab itu beliau berkenan membuat syair bernama Tuan Semeru bertembang Dandang. Asrama beliau tempat mengajarkan agama disebut SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah diapit dua buah telaga yang penuh bunga yang harum. Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau, maka di pinggir asrama muncul empat buah mata air yang bernama Catur Tirtha, yaitu tirtha panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya racun.
Tidak putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan diri. Orang-orang Islam dan non-Islam menjadi rukun dan tidak ada percekcokan. Mpu Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu tiada lain adalah Sang Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang berbeda hanyalah bahasanya dan praktek agamanya saja.
GUNUNG API TAMBORA Beberapa lama kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke Sumbawa untuk menemui saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah beliau ke Sumbawa bersama tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu. Akhirnya, beliau tiba di Sumbawa. Beliau diiring ke lereng sebuah gunung berapi bernama Tambora. Beliau menginap di rumah seorang petani. Beliau disuguhi ketela rebus dan pisang rebus ala kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang terserang hama ulat dan belalang.
Besok paginya Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan menceritakan perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan melihat masyarakat di sana, lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan membakar kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara beliau sendiri akan memohon kepada Betara yang bersthana di gunung Tambora agar hama-hama itu dipindahkan dari sana. Setelah matahari terbenam, orang-orang mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Pendeta Tuan Semeru.
Beliau bersama kepala desa pergi ke suatu tempat di ladang yang agak tinggi, seraya memohon kepada Tuhan agar hama-hama di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali ke pasraman setelah larut malam. Besok paginya alangkah terkejutnya masyarakat di sana menyaksikan hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa. Sawah-ladang kembali produktif dan semua warga gembira. Mereka bertambah yakin bahwa Tuan Semeru adalah seoran pendeta yang benar-benar suci dan sakti.
Di sana Mpu Dang Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orang-orang yang berobat langsung menjadi segar, sehingga berita tentang kehebatan beliau mulai tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.
DENDEN SARI
Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang mempunyai seorang putri bernama Denden Sari. Karena kayanya dia menjadi orang yang sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap hari kerjanya hanya menghitung jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan uang dengan bunga tinggi, memungut uang dari warga, dan memasukkannya ke kas pribadinya. Hanya itu yang dilakukannya setiap hari. Anak-anaknya tidak dihiraukannya, sehingga hidup mereka melarat.
Ada salah satu putrinya bernama Denden Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia sejak kecil tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan mereka. Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah. Badannya lemas dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Sang penghulu mendengar ada seorang pendeta sakti yang bisa mengobati orang sakit sedang berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk meminta pertolongan kepada sang pendeta.
Tidak diceritakan bagaimana pertemuan mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang penghulu tiba di rumahnya. Dang Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit itu dalam keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya pucat pasi seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah cantik. ”Oh, tuan pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba ini. Kalau dia bisa hidup lagi, hamba akan mempersembahkannya padamu,” ujar sang penghulu berharap. “Baiklah, aku akan menyembuhkannya.
Tapi setelah sehat aku akan membawanya ke Bali,” jawab sang pendeta. Lalu beliau memegang kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib ketuhanan). Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum dengan wajah cerah, lalu duduk dengan sehatnya. Demikianlah akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden Sari kembali ke desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis, Dang Hyang Dwijendra menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.
BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA
Ketika Dang Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main gembiranya Dalem Waturenggong. Setiap malam mereka membicarakan ilmu batin dan ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung) tetap saja datang pada Dang Hyang Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat. Segala nasihat gurunya itu citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir Padelegan.
Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan (hasil karya) Dang Hyang Nirartha dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan namanamanya, yaitu : Buah tangan Pangeran Dauh : 1. Rareng Canggu 2. Wilang Sebun Bangkung 3. Wukir Padelegan 4. Sagara Gunung 5. Aras Nagara 6. Jagul Tuwa 7. Wilet Manyura Tahun Saka 1414 8. Anting Anting Timah 9. Kakawin Arjuna Pralabda 79 Buah tangan Dang Hyang Dwijendra : 1. Nusa Bali Tahun Saka 1411 2. Kidung Sebun Bangkung 3. Sara Kusuma 4. Ampik 5. Legarang 6. mahisa Langit 7. Hewer 8. Majadanawantaka 9. Wasista Sraya 10.Dharma Pitutur 11.Kawya Dharma Putus 12.Dharma Sunya Keling 13.Mahisa Megat Kung Tahun Saka 1458 14.Kakawin Anyang Nirartha 15.Wilet Demung Sawit 16.Gagutuk Menur 17.Brati Sasana 18.Siwa Sasana 19.Tuan Semeru 20.Putra Sasana 80 21.Kidung Aji Pangukiran
MEDIKSA DAN MEMBAGI WARISAN; PURA PANGAJENGAN
Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada Dalem Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas. “Nanak Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang sudah-sudah. Kini aku akan pulang ke desa Mas hendak melaksanakan upacara pediksan keempat orang anakku yang akan menggantikanku untuk menjadi pendeta, yang akan melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di dunia, sebab aku akan segera pulang ke Siwaloka.
Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad. Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti. Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan upacara suci itu.
Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban pendeta.
Harta benda itu dibagi lima (5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah). Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan. Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu. Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas beliau bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena itu di sana didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan (pangajengan = tempat makan).
PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali, berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana, beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti. “Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang.Pura Peti Tenget
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama bercengkrama di daerah pinggir laut.” Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata. “Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja Sesuhunan.” “Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang.
“Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!” Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti, tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya diletakkan.
Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan. Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu.
Setelah tiba di sana, tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur. 87 Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara Masceti.
Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.
DESA MAS
Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke desa Mas. Di sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas. Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas yang bernama Sang Ayu Mas Genitir.
Kemudian setelah itu Pangeran Mas dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin. Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida Putu Kidul. Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra. Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”
PURA LUHUR ULUWATU Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata, “Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa bagai petir.
Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura Luhur Uluwatu.
Sumber : http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/
PURA RAMBUT SIWISetelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan perjalanan bertirthayatra itu.
Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang biasanya pura itu dijaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci itu.
Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali. Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka. Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang merupakan rencangan parahyangan ini.
Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat persembahyangan itu.
Selanjutnya beliau memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan.
Para penduduk sangat sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau berada di sana.mereka memohon dengan sangat agar sang Mpu bersedia tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya. Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS PRANGBAKAT.
Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk memohon berkah. Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar masyarakat menjadi selamat dan tentram.
PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT) Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana. Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang, maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya kepada sang pendeta.
Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan alam yang dilaluinya dan dilihatnya. Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci suasananya. Lalu beliau berhenti di sana.Kemudian dilihat oleh orang-orang penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang pendeta masing-masing membawa persembahannya. Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu. Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.
Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.
PURA GOWA LAWAH Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya. Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana. Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di sana, beliau lalu kembali ke Gelgel.
Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedatangan sang pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan (kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).
PURA PONJOK BATU Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian. Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya tiba di pantai barat laut dari gunung Agung. Di sana ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/ batu gunung yang ditutupi lumut menghijau.
Sang pendeta berhenti di sana dan duduk untuk melihat pemandangan laut. Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana. Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang membiru.
Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.
TUAN SEMERU PURA SURANADI Gerbang Pura Suranadi
Setibanya di Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan agama Islam waktu tiga kepada orang-orang sasak, sehingga beliau diberi gelar TUAN SEMERU. Sebab itu beliau berkenan membuat syair bernama Tuan Semeru bertembang Dandang. Asrama beliau tempat mengajarkan agama disebut SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah diapit dua buah telaga yang penuh bunga yang harum. Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau, maka di pinggir asrama muncul empat buah mata air yang bernama Catur Tirtha, yaitu tirtha panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya racun.
Tidak putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan diri. Orang-orang Islam dan non-Islam menjadi rukun dan tidak ada percekcokan. Mpu Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu tiada lain adalah Sang Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang berbeda hanyalah bahasanya dan praktek agamanya saja.
GUNUNG API TAMBORA Beberapa lama kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke Sumbawa untuk menemui saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah beliau ke Sumbawa bersama tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu. Akhirnya, beliau tiba di Sumbawa. Beliau diiring ke lereng sebuah gunung berapi bernama Tambora. Beliau menginap di rumah seorang petani. Beliau disuguhi ketela rebus dan pisang rebus ala kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang terserang hama ulat dan belalang.
Besok paginya Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan menceritakan perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan melihat masyarakat di sana, lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan membakar kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara beliau sendiri akan memohon kepada Betara yang bersthana di gunung Tambora agar hama-hama itu dipindahkan dari sana. Setelah matahari terbenam, orang-orang mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Pendeta Tuan Semeru.
Beliau bersama kepala desa pergi ke suatu tempat di ladang yang agak tinggi, seraya memohon kepada Tuhan agar hama-hama di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali ke pasraman setelah larut malam. Besok paginya alangkah terkejutnya masyarakat di sana menyaksikan hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa. Sawah-ladang kembali produktif dan semua warga gembira. Mereka bertambah yakin bahwa Tuan Semeru adalah seoran pendeta yang benar-benar suci dan sakti.
Di sana Mpu Dang Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orang-orang yang berobat langsung menjadi segar, sehingga berita tentang kehebatan beliau mulai tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.
DENDEN SARI
Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang mempunyai seorang putri bernama Denden Sari. Karena kayanya dia menjadi orang yang sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap hari kerjanya hanya menghitung jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan uang dengan bunga tinggi, memungut uang dari warga, dan memasukkannya ke kas pribadinya. Hanya itu yang dilakukannya setiap hari. Anak-anaknya tidak dihiraukannya, sehingga hidup mereka melarat.
Ada salah satu putrinya bernama Denden Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia sejak kecil tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan mereka. Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah. Badannya lemas dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Sang penghulu mendengar ada seorang pendeta sakti yang bisa mengobati orang sakit sedang berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk meminta pertolongan kepada sang pendeta.
Tidak diceritakan bagaimana pertemuan mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang penghulu tiba di rumahnya. Dang Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit itu dalam keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya pucat pasi seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah cantik. ”Oh, tuan pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba ini. Kalau dia bisa hidup lagi, hamba akan mempersembahkannya padamu,” ujar sang penghulu berharap. “Baiklah, aku akan menyembuhkannya.
Tapi setelah sehat aku akan membawanya ke Bali,” jawab sang pendeta. Lalu beliau memegang kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib ketuhanan). Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum dengan wajah cerah, lalu duduk dengan sehatnya. Demikianlah akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden Sari kembali ke desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis, Dang Hyang Dwijendra menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.
BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA
Ketika Dang Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main gembiranya Dalem Waturenggong. Setiap malam mereka membicarakan ilmu batin dan ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung) tetap saja datang pada Dang Hyang Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat. Segala nasihat gurunya itu citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir Padelegan.
Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan (hasil karya) Dang Hyang Nirartha dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan namanamanya, yaitu : Buah tangan Pangeran Dauh : 1. Rareng Canggu 2. Wilang Sebun Bangkung 3. Wukir Padelegan 4. Sagara Gunung 5. Aras Nagara 6. Jagul Tuwa 7. Wilet Manyura Tahun Saka 1414 8. Anting Anting Timah 9. Kakawin Arjuna Pralabda 79 Buah tangan Dang Hyang Dwijendra : 1. Nusa Bali Tahun Saka 1411 2. Kidung Sebun Bangkung 3. Sara Kusuma 4. Ampik 5. Legarang 6. mahisa Langit 7. Hewer 8. Majadanawantaka 9. Wasista Sraya 10.Dharma Pitutur 11.Kawya Dharma Putus 12.Dharma Sunya Keling 13.Mahisa Megat Kung Tahun Saka 1458 14.Kakawin Anyang Nirartha 15.Wilet Demung Sawit 16.Gagutuk Menur 17.Brati Sasana 18.Siwa Sasana 19.Tuan Semeru 20.Putra Sasana 80 21.Kidung Aji Pangukiran
MEDIKSA DAN MEMBAGI WARISAN; PURA PANGAJENGAN
Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada Dalem Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas. “Nanak Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang sudah-sudah. Kini aku akan pulang ke desa Mas hendak melaksanakan upacara pediksan keempat orang anakku yang akan menggantikanku untuk menjadi pendeta, yang akan melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di dunia, sebab aku akan segera pulang ke Siwaloka.
Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad. Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti. Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan upacara suci itu.
Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban pendeta.
- Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol
- Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk
- Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita.
- Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan)
- Tidak memakan daging ayam peliharaan
- Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun niskala
- Tidak boleh iri hati
- Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.
Harta benda itu dibagi lima (5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah). Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.
- Mpu Kulon mengambil emas, perak, uang kepeng, permata, surat tegalan dan rakyat, akibatnya akan mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
- Mpu Lor mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
- Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
- Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu bagian untuk mereka berdua berupa sawah dan ladang, maknanya kepandaian kurang, tapi banyak anak.
- Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun. Akhirnya setelah diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil : lontar pustaka, alat pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki Samprangan, pisau pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak. Maknanya penuh kepandaian dan bakat, tapi sayang keturunannya sedikit.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan. Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu. Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas beliau bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena itu di sana didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan (pangajengan = tempat makan).
PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali, berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana, beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti. “Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang.Pura Peti Tenget
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama bercengkrama di daerah pinggir laut.” Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata. “Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja Sesuhunan.” “Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang.
“Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!” Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti, tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya diletakkan.
Pura Peti Tenget
Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan. Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu.
Setelah tiba di sana, tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur. 87 Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara Masceti.
Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.
DESA MAS
Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke desa Mas. Di sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas. Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas yang bernama Sang Ayu Mas Genitir.
Kemudian setelah itu Pangeran Mas dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin. Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida Putu Kidul. Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra. Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”
PURA LUHUR ULUWATU Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata, “Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa bagai petir.
Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura Luhur Uluwatu.
Sumber : http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)