1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada
abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang
Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang
Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas,
perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal
lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para
pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan
Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika
itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau
dinamakan Bali.
Jadi
yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian
pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan
ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang
menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun
pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru,
Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang
Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar
matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah
sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan
dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain
itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada
Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari
Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang
Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah
Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi
ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang
menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur
tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur,
buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang
komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang
tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis,
nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap
ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti
kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping
itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar
Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan
arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu,
atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak
kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan
hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari
raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau
adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura
lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada
abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang
berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti
disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah
berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa,
Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat
dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu
sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol)
tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama
sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu
akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang
lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh
masyarakat Bali Aga.
Inilah
yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan
dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini
bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada
pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar
dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa
Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih
beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang
Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali
pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning
Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M)
lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya
tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka
922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgelc.
Mpu
Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada
hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra
sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya
berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme
tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih
kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu
(tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis
(Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur
bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah
ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis,
Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau
“Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu
menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang
diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat
itu, yaitu :o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang
juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo
Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali AgaDalam rapat
majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan
keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala
itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti
(Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak
dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi
Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah
kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam
satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan
Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah
bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam
perwujudannya yang masing-masing bernama:ØPura Desa Bale Agung untuk
memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari
Sang Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga
yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi
WasaKetiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi
lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga
dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai
“Desa Adat”.
Dan
sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik
dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat
Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali
Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya
di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura
Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti
dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura
Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling
Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga,
di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam
posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah
Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik
Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang
Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan
untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang
menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin
Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara
rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau
menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum
bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu
kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan
dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian
senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang
di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau
mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya
adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan
adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep
Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika
itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan
rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat
pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan
keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan
karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar,
kidung atau kekawin.
Karya
sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma,
Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk
menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif
mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja
beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :
Pura Purancak,
Pura Rambut siwi,
Pura Pakendungan,
Pura Hulu watu,
Pura Bukit Gong,
Pura Bukit Payung,
Pura Sakenan,
Pura Air Jeruk,
Pura Tugu,
Pura Tengkulak,
Pura Gowa Lawah,
Pura Ponjok Batu,
Pura Suranadi (Lombok),
Pura Pangajengan,
Pura Masceti,
Pura Peti Tenget,
PuraAmertasari,
Pura Melanting,
Pura Pulaki,
Pura Bukcabe,
Pura Dalem Gandamayu,
Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh
suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama
Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang
membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar